INFEKSI NOSOKOMIAL
INFEKSI
NOSOKOMIAL
DEFENISI
ü Infeksi adalah
suatu proses peradangan organisme pada jaringan atau cairan tubuh yang
disertai suatu gejala klinis baik lokal
maupun sistemik (Utama, 2006).
ü Infeksi yang
terjadi di rumah sakit dan menyerang penderita-penderita
yang sedang dalam proses seseorang itu
dirawat atau selesai dirawat disebut infeksi nosokomial.
ü Infeksi nosokomial terjadi karena adanya transmisi
mikroba patogen yang bersumber dari
lingkungan rumah sakit dan perangkatnya. Rumah sakit merupakan salah
satu tempat dimana kita dapat menemukan
mikroba patogen. Rumah sakit merupakan
depot bagi berbagai macam panyakit yang berasal dari penderita maupun
dari pengunjung yang bersifat karier.
Kuman penyakit ini dapat hidup dan berkembang di lingkungan rumah sakit seperti udara,
lantai, makanan, benda-benda medis
ataupun non medis (Darmadi, 2008)
ü Infeksi
nosokomial menyangkut dua hal pokok, yaitu
penderita yang sedang dalam proses asuhan keperawatan di rumah sakit
dan adanya transmisi mikroba patogen ke
penderita yang sedang dalam proses asuhan
keperawatan tersebut. Setiap penyakit memiliki masa inkubasi yang
berbeda, oleh karena itu perlu adanya
penjabaran lebih spesifik mengenai manifestasi klinis. Manifestasi klinis seperti telah disebutkan
dapat muncul selama pasien dalam proses perawatan ataupun setelah selesai
menjalani proses perawatan / setelah
pasien keluar dari rumah sakit.
KRITERIA INFEKSI NOSOKOMIAL (DARMADI, 2008 DAN UTAMA, 2006) :
- Pada waktu penderita mulai dirawat di rumah sakit
tidak didapatkan tanda-tanda klinik
dari infeksi tersebut.
- Pada waktu penderita mulai dirawat di rumah sakit
tidak sedang dalam masa inkubasi
dari infeksi tersebut.
- Tanda-tanda klinik infeksi tersebut timbul
sekurang-kurangnya setelah 3x24 jam
sejak mulai perawatan. Secara umum, pasien yang masuk rumah sakit dan menunjukkan tanda
infeksi kurang dari 72 jam
menunjukkan bahwa masa inkubasi penyakit telah terjadi sebelum pasien masuk rumah sakit (infeksi bukan
berasal dari rumah sakit).
- Infeksi tersebut bukan merupakan sisa atau residual
dari infeksi sebelumnya.
- Bila saat mulai dirawat di rumah sakit sudah ada
tanda-tanda infeksi, dan terbukti
infeksi tersebut didapat penderita ketika dirawat di rumah sakit yang sama pada waktu yang lalu, serta
belum pernah dilaporkan sebagai infeksi nosokmial.
- Penderita yang sedang dalam proses asuhan
keperawatan di rumah sakit dan
kemudian menderita keracunan makanan dengan penyebab bukan produk bakteri tidak termasuk
infeksi nosokomial.
- Untuk penderita yang telah keluar dari rumah sakit
dan kemudian timbul tanda-tanda
infeksi, dapat digolongkan sebagai
infeksi nosokomial apabila
infeksi tersebut dapat dibuktikan berasal dari rumah sakit.
- Infeksi yang terjadi pada petugas pelayanan medis
serta keluarga / pengunjung tidak
termasuk infeksi nosokomial.
- Mikroba patogen yang menimbulkan infeksi nosokomial
akan masuk ke penjamu melalui port d’entrée dan setelah melewati masa
inkubasi akan timbul reaksi
sistemik pada penderita berupa manifestasi klinik ataupun
laboratorium.
- Bakteremia merupakan respon sistemik penderita
terhadap infeksi, di mana mikroba
atau toksinnya berada di dalam aliran darah dan menimbulkan reaksi sistemik berupa reaksi inflamasi. Proses
inflamasi dapat berlanjut hingga
menimbulkan sepsis.
1. Faktor-faktor yang ada pada diri penderita (faktor
intrinsik) seperti umur, jenis kelamin,
kondisi umum penderita, risiko terapi, atau
adanya penyakit lain yang menyertai penyakit dasar (multipatologi)
beserta komplikasinya. Faktor-faktor ini merupakan presdiposisi.
2. Faktor
keperawatan seperti lamanya hari perawatan, menurunnya standar pelayanan perawatan, serta padatnya
penderita dalam satu ruangan.
3. Faktor mikroba patogen seperti tingkat kemampuan
invasi serta tingkat kemampuan merusak
jaringan, lamanya pemaparan antara sumber
penularan (reservoir) dengan penderita.
Berikut gambaran faktor-faktor yang berpengaruh pada terjadinya infeksi
nosokomial.
TAHAPAN INFEKSI NOSOKOMIAL
1. Tahap pertama mikroba patogen bergerak menuju ke penjamu / penderita
dengan mekanisme penyebaran (mode of transmission)
terdiri dari penularan langsung dan tidak langsung (Darmadi, 2008).
ü Penularan
langsung : melalui droplet nuclei yang
berasal dari petugas, keluarga /
pengunjung, dan penderita lainnya. Kemungkinan lain berupa darah saat transfusi darah.
ü
Penularan tidak langsung :
ü
Vehicle-borne yaitu penyebaran /
penularan mikroba patogen melalui
benda-benda mati seperti peralatan medis, bahan-bahan / material medis, atau peralatan lainnya. Tindakan
invasif seperti pemasangan kateter, vena
pungsi, tindakan pembedahan, proses dan tindakan medis lain berisiko
untuk terjadinya infeksi nosokomial.
ü
Vector-borne yaitu penyebaran /
penularan mikroba patogen dengan
perantara seperti serangga. Luka terbuka, jaringan nekrosis, luka bakar, dan gangren adalah
kasus-kasus yang rentan dihinggapi lalat.
ü
Food-borne yaitu penyebaran / penularan
mikroba patogen melalui makanan dan
minuman yang disajikan untuk penderita.
ü
Water-borne yaitu penyebaran / penularan mikroba patogen melalui air, namun
kemungkinannya kecil sekali karena air
di rumah sakit biasanya sudah melalui
uji baku.
ü
Air-borne yaitu penyebaran / penularan mikroba patogen
melalui udara, peluang terjadinya infeksi
melalui cara ini cukup tinggi karena ruangan / bangsal yang tertutup
secara teknis kurang baik ventilasi dan
pencahayaannya.
2. Tahap kedua adalah upaya dari
mikroba patogen untuk menginvasi ke jaringan
/ organ penjamu (pasien) dengan cara mencari akses masuk (port d’entrée)
seperti adanya kerusakan / lesi kulit
atau mukosa dari rongga hidung, mulut, orifisium uretra, dan sebagainya.
3. Tahap ketiga adalah mikroba patogen berkembang biak
(melakukan multiplikasi) disertai dengan
tindakan destruktif terhadap jaringan, walaupun ada mengakibatkan perubahan morfologis dan
gangguan fisiologis jaringan.
1. Infektivitas yaitu kemampuan mikroba patogen untuk
menginvasi yang merupakan langkah awal
melakukan serangan ke penjamu melalui
akses masuk yang tepat dan selanjutnya mencari jaringan yang cocok untuk melakukan multiplikasi.
2. Virulensi yaitu
langkah mikroba patogen untuk melakukan tindakan desturktif terhadap jaringan dengan cara
menggunakan enzim perusaknya, sehingga
menentukan luasnya kerusakan jaringan.
3. Antigenisitas
yaitu kemampuan mikroba patogen merangsang
timbulnya mekanisme pertahanan imun melalui terbentuknya antibodi.
4. Toksigenisitas yaitu kemampuan mikroba patogen dalam
menghasilkan toksin yang sangat berpengaruh terhadap perjalanan penyakit.
5. Patogenisitas yaitu gabungan dari sifat infektivitas,
virulensi, antigenisitas serta toksigenitas mikroba patogen yang dinilai
sebagai derajat keganasan mikroba patogen atau respon tubuh terhadap masuknya
mikroba patogen.
6. Aseptik merupakan kondisi relatif aman dari mikroba
patogen setelah dilakukan eliminasi
terhadap mikroba patogen baik yang ada di
jaringan hidup ataupun objek / benda mati.
7. Disinfeksi merupakan tindakan /
upaya untuk mendestruksi atau membunuh
mikroba patogen (bentuk vegetatif bukan endospora bakteri) dengan memanfaatkan bahan kimia,
baik yang ada pada jaringan hidup ataupun
pada benda mati.
8. Antisepsis merupakan upaya membuat kondisi bebas
mikroba pada jaringan hidup dengan menggunakan
bahan kimia (antiseptik) atau membuat
keadaan bebas mikroba patogen pada jaringan hidup dengan
9. Disinfektan merupakan bahan kimia untuk disinfeksi
pada benda mati.
10.
Antiseptik merupakan bahan kimia untuk tujuan
antisepsis.
KRITERIA DESINFEKTAN
1. Mempunyai spektrum luas.
2. Daya absorpsinya rendah pada karet, zat-zat sintetis,
dan bahan lainnya.
3. Tidak korosif (bereaksi secara kimiawi terhadap
alat-alat medis).
4. Toksisitasnya rendah pada petugas.
5. Baunya tidak merangsang.
FASE DESINFEKTAN
a. Fase
dekontaminasi yang bertujuan untuk menginaktivasi serta mengurangi jumlah mikroba patogen yang ada
serta agar peralatan medis lebih aman
saat ditangani oleh petugas pada fase berikutnya (fase pembersihan). Secara teknis dikerjakan
dengan merendam peralatan medis dalam
larutan klorin 0.3% selama 10 menit.
b. Fase
pembersihan yaitu fase pembebasan peralatan medis secara fisik dari kotoran, darah, pus, potongan jaringan
tubuh yang melekat pada peralatan medis, serta mikroba patogen yang tersisa
dengan cara menyikat / menggosok.
Selanjutnya diikuti proses mencuci dengan
larutan sabun atau deterjen, membilas dengan air bersih, serta mengeringkannya.
c. Fase disinfeksi
dengan disinfektan yang digunakan
diharapkan cukup efektif untuk membunuh mikroba patogen yang ada.
Tanda-tanda peradangan/infeksi
1.
Rubor
(Merah)
2.
Calor
(Panas)
3.
Tumor
(Bengkak)
4.
Dolor
(Nyeri)
5.
Fungsi
laesa terganggu
EFEKTIVITAS DISINFEKTAN
DITENTUKAN OLEH BEBERAPA FAKTOR, YAITU :
1. Faktor mikroba yang tergantung dari jenis mikroba
patogen dan jumlah mikroba patogen
(bioburden). Beberapa jenis mikroba patogen
memiliki daya tahan yang lebih besar terhadap bahan disinfektan dari pada mikroba patogen lainnya.
2. Faktor peralatan medis seperti
perlakuan pada fase sebelumnya dimana
faktor pembersihan sangat penting dalam proses disinfeksi agar berlangsung optimal. Beban kandungan materi
organik pada peralatan mempengaruhi
beban kerja disinfektan karena ada materi organik yang mengikat zat disinfektan. . Struktur fisik
yang rata atau rumit mempengaruhi kerja
disinfektan. Larutan mineral yang menempel
pada peralatan medis ada yang dapat mengikat zat disinfektan seperti kalsium dan magnesium.
3. Lamanya kontak antara zat disinfektan dengan mikroba
patogen juga mempengaruhi kerja
disinfektan.
4. Tingkat keasaman dan kebasaan (pH)
disinfektan mempengaruhi, ada yang
bekerja optimal pada suasana asam atau basa. Bahan kimia disinfektan sangat
berpengaruh pada unsur protein mikroba
patogen. Hanya endospora yang mampu bertahan terhadap efek kimia
disinfektan. Beberapa disinfektan yang
banyak digunakan antara lain alkohol, klorin dan derivatnya, formaldehid, glutaraldehid, dan
fenol (Pratiwi, 2008).
METODE STERILISASI
a. Sterilisasi
merupakan suatu proses dengan metode tertentu yang mana dapat memberikan hasil akhir yaitu suatu keadaan
yang tidak dapat ditemukan lagi adanya mikroorganisme hidup.
b. Kualitas hasil
sterilisasi harus terjaga mengingat
risiko kontaminasi kembali saat penyimpanan dan terutama saat akan digunakan dalam tindakan medis.
c. Metode kimiawi
dan pemanfaatan energi panas, namun
kedua metode tersebut tidak dapat mengeliminasi endospora bakteri.
d. Untuk peralatan
medis kritis diperlukan metode sterilisasi tingkat tinggi dimana endospora bakteri juga tidak boleh
ditemukan.
e. Metode uap
panas bertekanan tinggi, metode panas
kering, dan metode gas kimia (Darmadi, 2008).
f. Kegiatan
sterilisasi ini memiliki unit pelaksanaan tersendiri yaitu Central Sterile Supply Department (CSSD) atau
Instalasi Sterilisasi Sentral (ISS) (Nasra,
2007).